Minggu, 15 Juni 2014

Shalat


Adapun mengenai shalat yang akan kita bahas di bawah ini ialah yang sebagaimana difirmankan Allah SWT yang bunyi-Nya :
… إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ…(45)
“….Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar….” (Q.S. Al-Ankabuut : 45).
Pengertiannya : 
  1.  Bahwa shalat itu berfungsi bagi diri supaya mencegah kekejian dan kemunkaran. Jadi, terhadap yang melakukannya, tetapi bermasa bodo terhadap berlakunya kemunkaran, maka berarti shalatnya itu tidak sejalan dengan yang dimaksud oleh ayat tersebut di atas itu. 
  2.  Bahwa konsekwensi dari shalat itu harus sedapat mungkin berusaha mencegah perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Artinya ; bagi setiap yang sudah melakukan shalat dan sesuai dengan esensi yang dikandung dalam shalat, maka dirinya akan terus bergerak melawan kemunkaran.
  •  Menerima Sebagai Aparat Allah
Pada dasarnya bahwa seseorang yang sudah melakukan shalat, maka sesungguhnya telah “berjanji” kepada Allah, sebagaimana yang dikandung dalam ungkapan kalimat “Iyyaka na’ budu” yang artinya : “Hanya kepada engkau kami beribadah”. Ibadah berasal dari kata “abada” (menyembah, mengabdi/berbakti). Menyembah atau berbakti kepada Allah berarti bernaung di bawah ketentuan Hukum-Hukum Islam. Maka, dalam shalat itu juga berarti telah memberikan pernyataan diri sebagai “aparat/petugas” dari Kerajaan Allah. Sehingga dirinya itu bersiap sedia pula melawan setiap kekuatan yang menghalangi tegaknya undang-undang yang telah diturunkan Allah SWT.
Tentu lain lagi halnya terhadap seseorang yang berjanji ketika melakukan shalatnya, sedang dalam hal itu menyetujui berlakunya hukum-hukum Jahiliyah (thagut), atau rela bila hukum Islam dicampakkan dari dirinya, maka sama artinya dengan melanggar janjinya sendiri yang berarti shalatnya itu yang palsu. Kita ingat sabda Rasulullah SAW :
اَوَّلُ مَايُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ فَاِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ سَائِرُ عَمَلِهِ وَاِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Yang paling utama dihisab (ditanya) seseorang hamba pada hari kiamat ialah mengenai shalat. Apabila beres shalatnya, beres segala amalnya. Dan jika rusak, maka rusak pula segala amalnya”. (H. R. Thabrany).
Yang akan diperiksa dari hal melakukan shalat itu, tidak hanya yang mengenai rukun-rukun atau wujudnya secara lahiriyah saja. Sebab, bila hanya untuk itu, maka orang-orang munafik dan fasik pun dapat melakukannya. Tegasnya, bahwa yang akan diperiksa mengenai shalatnya seseorang itu adalah mencakup pula akan isinya antara lain : 
  1.  Sudahkah dengan shalatnya itu dia mencegah kemunkaran dan kekejian sebagaimana yang disebutkan oleh ayat tadi di atas ?. 
  2. Sungguhkah dia melakukan shalat itu dengan beritikad sedia menjalankan seluruh Perintah Allah, sebagaimana esensi shalat, atau hanya mengakui sebagiannya saja ; sebagiannya lagi dia pakai aturan kafir ?. 
  3.  Dan adakah janji dalam shalatnya itu merupakan janji yang dipertanggungjawabkan untuk ditepati atau hanya janji kosong ? Atau memang sengaja dia telah berani merusak janjinya, karena menganggap sepele terhadap arti tujuan menyembah kepada Allah ?.
  •  Berkaitan Dengan “Ibadah Ghairu Mahdhoh”
Shalat, merupakan ibadah yang secara vertikal berhubungan dengan Allah SWT. Akan tetapi, realisasi dari shalat itu tidak lepas dari ibadah yang secara horizontal berhubungan dengan kemasyarakatan. Umpamakan saja diri kita sebagai pegawai yang diberi dua macam tugas seperti kita sebutkan di bawah ini : 
  1.  Apel menghadap pimpinan, dalam rangka berjanji setia terhadap perintah dari atasan. Juga, melaporkan diri bahwa kita sudah menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan peraturan dari pimpinan. 
  2.  Menjalankan pekerjaan di lapangan.
Vertikalnya yaitu bertugas menghadap pimpinan. Dan horizontalnya ialah menjalankan tugas di lapangan. Maka, jelas bahwa hubungan antara kedua macam tugas itu tidak dapat dipisahkan. Maksudnya ialah bahwa menghadap pimpinan berarti kita sudah siap menjalankan tugas di lapangan dengan mentaati intruksi dari pimpinan. Dan kita melaporkan pekerjaan yang sudah dikerjakan. Begitu juga menjalankan tugas di lapangan, maka harus sesuai pula dengan materi janji ketika sedang menghadap pimpinan.
Bagi pimpinan yang sangat menguasai administrasi kepegawaian dalam perusahaannya, tentu dapat mengetahui kejujuran dan kelicikan pegawainya, cukup dengan terlebih dulu memeriksa laporan yang disesuaikan dengan fakta-faktanya. Apabila antara isi laporan dan fakta yang ada di kantor pimpinan itu ditemui “ketidakberesan”, maka kemudian diperiksa pula bukti-bukti yang telah kita kerjakan di lapangan. Jelas sekali bahwa menuju beresnya pemeriksaan mengenai laporan yang tiap hari kita sampaikan itu, harus beres pula dengan pekerjaan kita di lapangan.
Dalam bacaan shalat ada kalimat tauhid “Asyhadu anlaa ilaha illallaah”, artinya “aku menyaksikan bahwasanya tidak ada Robb selain Allah”. pengertian tentang “Tuhan” menurut Islam adalah Tuhan sebagai “Rabb” yang memberi tugas beserta peraturan-peraturan-Nya, dan kita tidak boleh merobah-robah-Nya. Dengan itu, maka kalimat tauhid yang kita nyatakan ketika melakukan shalat mengandung arti tidak ada ketaatan kepada sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang dari Allah. Maka, adakah pernyataan kita itu dibuktikan dengan perbuatan sehari-hari di dalam masyarakat kita ?.
Menghadapi pemeriksaan mengenai shalat, adalah tetap menyangkut dengan ibadah-ibadah yang berhubungan dengan kemasyarakatan (horizontal)/ghairu mahdhoh). Sebab, bahwa ungkapan kalimat “hanya kepada engkau kami menyembah”, dalam shalat dimaksudkan juga sebagai laporan sehari-hari yang terus bertumpuk. Dan akan diperiksa pada hari kiamat. Serta tepat atau tidaknya dengan kenyataan, itu pula menjadi pokok tujuan dalam pemeriksaan. Bilamana dalam kehidupan sehari-harinya itu rela dilandasi dengan hukum-hukum kafir dengan tidak mencari jalan keluar darinya, maka akan sama halnya dengan mereka yang merusak janji. Dan laknat bagi yang merusak janji (Al-Baqarah : 27, Ar-Raa’d : 25). Sama keadaannya dengan shalatnya orang munafik (An-Nisa : 142).
Lain pula halnya bagi yang telah membuktikan diri dengan sehabis-habisnya usaha dalam mempraktekkan esensi shalatnya di dalam tata kehidupan bermasyarakat, maka dijuluki sebagai “Aparat” Kerajaan Allah di muka bumi. Bila pada waktu subuh dia (shalat) menghadap Allah, maka sekitar jam 9.00-11.00 siang pun berada dalam posisi menjalankan atau memperjuangkan hukum-hukum Islam supaya berlaku di dalam masyarakat. Kemudian bila pada waktu dhuhur dia melaporkannya lagi kepada Allah, maka laporannya pun tidaklah bohong. Demikianlah shalat yang dilakukan oleh umat yang bertanggung jawab dalam menjalankan Undang-Undang Allah, karena diri berfungsi sebagai aparat Kerajaan-Nya di muka bumi.
Sungguh berbeda dengan yang dilakukan oleh orang-orang fasik ; yang mana tidak bertanggung jawab terhadap esensi shalat. Dan tidak meyakini kebenaran Islam. Sehingga mereka tidak dapat mengendalikan nafsu yang bertentangan dengan isi shalatnya. Sebab itu, telah dijelaskan bahwa setiap yang menolak tegaknya kekuasaan Islam, maka adalah musuh Islam yang nyata.
Kesimpulannya, bahwasanya Allah sebagai Raja (Mulkussamawaati wal ardhi), juga Al-Qur’an merupakan Undang-Undang-Nya, maka yang beriman dan beramal shaleh adalah aparat-Nya di bumi. Sehingga fungsi shalat yang dilakukannya merupakan laporan (sapta marga) ciri kesediaan menjadi petugas yang patuh terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Rabbul a’lamiin (Raja semesta alam). Bila sudah sedemikian menghayatinya, maka Insya Allah shalatnya dapat menggetarkan jiwa untuk siap berpijak pada Kebenaran Allah. Selanjutnya terjun ke medan jihad hingga hidupnya ditujukan guna pengabdian kepada Allah, tempat kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar